Kaltimnyapa.com, Kutim – Seorang pemuda asal Kecamatan Kaubun, Kabupaten Kutai Timur, Muhammad Hasbi Mo’a, mengkritik keras keberadaan perusahaan tambang batu bara dan sawit yang beroperasi di wilayahnya.
Ia menilai, selama ini perusahaan-perusahaan tersebut hanya berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam tanpa memberikan kontribusi seimbang terhadap kesejahteraan masyarakat dan pembangunan infrastruktur dasar.
“Sudah saatnya seluruh kepala desa dan pemerintah kecamatan berhenti bersikap lunak. Ayo mulai bersuara lantang, menuntut tanggung jawab sosial perusahaan, khususnya melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka,” tegas Hasbi melalui sambungan telepon WhatsApp kepada awak media, Selasa (6/5/2025).
Hasbi menyampaikan kekecewaannya terhadap minimnya transparansi dana CSR dan lemahnya keberanian pemerintah desa maupun kecamatan dalam menagih komitmen sosial perusahaan. Ia menyebut, perusahaan besar yang beroperasi di Kaubun seolah diberi “karpet merah”, tetapi menghilang saat masyarakat meminta pertanggungjawaban.
Menurutnya, ketimpangan tersebut semakin parah karena lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan program CSR. Padahal, ia menegaskan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan memiliki dasar hukum yang jelas, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
“Ketentuan ini bahkan dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang menyebutkan sanksi administrasi mulai dari peringatan hingga pencabutan izin usaha bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR,” jelas Hasbi.
Ia juga menyoroti sikap pasif pemerintah desa yang menurutnya hanya hadir sebagai tamu undangan dalam acara seremoni perusahaan. Sementara, keluhan masyarakat soal jalan rusak, air bersih, hingga kebutuhan dasar lainnya seringkali hanya dijawab dengan janji yang tak kunjung terealisasi.
Untuk itu, Hasbi mendesak dibentuknya forum dialog terbuka yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kepala desa, pemerintah kecamatan, masyarakat sipil, hingga pihak perusahaan. Ia juga mengusulkan pembentukan tim independen pengawasan CSR yang terdiri dari tokoh masyarakat, akademisi, dan pemuda lokal agar pelaksanaan program CSR tidak sekadar formalitas.
“Dari forum itu bisa dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kontribusi sosial perusahaan. Jangan lagi ada pertemuan yang hanya berisi makan dan foto bersama. Kami ingin dokumen, data, dan bukti komitmen. Kami ingin perusahaan duduk dan mendengar keluhan masyarakat yang selama ini terkesan diabaikan,” tandasnya.
Menutup pernyataannya, alumnus FISIPOL Universitas Mulawarman ini menegaskan bahwa perjuangannya bukan untuk menolak investasi, melainkan demi menegakkan keadilan sosial.
“Kami bukan anti tambang atau anti sawit. Kami hanya menuntut keadilan sosial. Kalau perusahaan bisa untung miliaran dari tanah kami, maka daerah kami juga harus lebih sejahtera,” pungkas Hasbi.