Kaltimnyapa.com, Samarinda – Anggota Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Didik Agung Eko Wahono, menyoroti lemahnya kewenangan daerah dalam menangani sengketa lahan dan konflik pertambangan. Ia menegaskan perlunya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang dinilai telah membatasi peran pemerintah daerah secara signifikan.
“Kalau persoalan tanah dan tumpang tindih lahan terus terjadi, itu bukan semata-mata karena pengawasan daerah lemah. Tapi karena memang kewenangan daerah dipangkas,” ujar Didik, Sabtu (14/6/2025).
Didik menjelaskan, sejak diberlakukannya UU 23/2014, kewenangan perizinan di sektor pertambangan dan kehutanan sepenuhnya ditarik ke pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota hanya bertindak sebagai pengawas dan pelapor terhadap situasi di lapangan, tanpa memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan langsung terhadap pelanggaran.
“Daerah hanya bisa mengawasi dan melaporkan, tidak bisa mencabut izin atau mengambil langkah hukum terhadap perusahaan yang melanggar. Padahal yang menghadapi masyarakat langsung ya kami di sini,” tegasnya.
Ia juga menyoroti maraknya konflik agraria yang melibatkan perusahaan tambang dan perkebunan besar seperti kelapa sawit. Menurutnya, penyelesaian konflik sering kali berjalan lambat akibat terbatasnya wewenang pemerintah daerah untuk bertindak.
Didik menilai bahwa solusi jangka panjang terhadap persoalan ini adalah dengan melakukan perubahan regulasi yang memberikan ruang hukum lebih luas kepada pemerintah daerah.
“Kalau kewenangan ini bisa dikembalikan, saya yakin penyelesaian konflik bisa lebih cepat. Karena kami tahu medan dan kami dekat dengan masyarakat,” pungkasnya. (Adv).
