Kaltimnyapa.com, Samarinda – Ruang diskusi publik di Samarinda kini mulai tercemar oleh maraknya akun anonim atau buzzer yang aktif menyerang para pengkritik pemerintah, terutama di media sosial. Fenomena ini tak lagi dianggap sebagai dinamika biasa, melainkan telah mengarah pada ancaman nyata terhadap kebebasan berpendapat dan keamanan pribadi.
Anggota Komisi I DPRD Samarinda, Adnan Faridhan, menjadi salah satu pihak yang angkat suara. Ia menilai, pola kerja para buzzer tersebut menunjukkan tanda-tanda keterorganisasian, lengkap dengan narasi balasan yang seragam dan terstruktur, seolah dikendalikan dari satu pusat komando.
“Buzzer ini seperti bayangan gelap. Mereka tak terlihat, tapi bisa menghantam siapa saja yang bersuara kritis. Saya sendiri sudah pernah jadi target,” ungkap Adnan, Selasa (20/5/2025).
Bukan hanya dirinya, jurnalis independen seperti King Tae dan Mas Awan dari Selasar.co juga dilaporkan menjadi sasaran serangan digital. Namun yang paling mengkhawatirkan, kata Adnan, adalah aksi doxing atau penyebaran data pribadi yang mulai terjadi di Samarinda. Beberapa individu bahkan menjadi korban penyebaran KTP dan alamat rumah secara terbuka di dunia maya.
“Kalau kritik soal kinerja atau aktivitas pribadi masih bisa dimaklumi. Tapi kalau sudah menyebarkan data sensitif, itu jelas tindakan kriminal. Ini bukan sekadar etika digital, tapi sudah masuk ranah hukum,” tegasnya.
Adnan menegaskan bahwa doxing melanggar Undang-Undang ITE dan pelakunya bisa dijerat pidana. Ia mencontohkan kasus nasional yang berhasil diusut hingga ke aktor bayaran di balik akun buzzer.
“Jangan bilang pelakunya sulit dilacak. Di Jakarta bisa terbongkar, bahkan ketahuan siapa yang bayar. Jadi kalau di Samarinda dibiarkan, publik wajar kalau mulai curiga,” tandasnya.
Ia juga mendorong Pemkot Samarinda untuk tidak pasif. Jika pemerintah merasa tidak terlibat dalam aktivitas para buzzer, Adnan meminta agar sikap resmi ditunjukkan secara terbuka untuk menjernihkan opini publik.
“Kalau memang tidak ada hubungannya, tunjukkan sikap. Jangan hanya bilang tidak tahu. Karena jika dibiarkan, itu bisa dianggap sebagai pembiaran,” ujarnya.
Adnan menutup pernyataannya dengan menyerukan pentingnya menjaga etika digital dan melindungi kebebasan berpendapat. Ia menilai, demokrasi lokal hanya bisa bertumbuh sehat jika semua pihak, termasuk pemerintah, berani menjaga ruang publik dari intimidasi dan teror digital.
